HUTAN TANAMAN INDUSTRI, KERA DAN KEGAGALAN PANEN

Masyarakat pedesaan berakar pada pertanian seperti masyarakat di sekitar daerah pelayanan GKPS Resort Horisan Tambun Raya.  Di tengah rencana strategis pemerintah mengikut sertakan desa-desa sekitar Danau Toba untuk tumbuh secara ekonomi di dalam program Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), dengan meningkatnya akses komunikasi dan bisnis, ternyata masih banyak tantangan bagi masyarakat pedesaan Tambun Raya yang sebagian besar berprofesi sebagai petani untuk memenuhi hak-hak dasar mereka seperti: tersedianya air bersih, mata pencaharian, kesehatan masyarakat dan pendidikan.

Tampaknya, konsesi lahan di sekitarnya telah menciptakan ancaman baru bagi komunitas yang mata pencahariannya berakar pada pertanian lokal seperti bawang merah, mangga, jahe, dan tanaman musiman lainnya. Salah satu ancaman terbesar adalah meningkatnya populasi kera yang menyerang tanaman masyarakat. Kerusakan tanaman oleh kera-kera ini telah menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan. Menurut Pdt. Cerimita Saragih yang bertugas sebagai Pendeta GKPS Resort Horisan Tambun Raya, kasus ini telah bermula sejak tahun 1995, namun kondisi ini semakin memburuk sejak tahun 2017. Seperti yang diakui seorang Ibu di Sipolha II, yang mengalami gagal panen bawang merah akibat kehadiran kera-kera tersebut.

Salah satu temuan dari studi dan dialog dengan pemimpin desa dan pemerintah daerah, meningkatnya populasi kera di daerah ini adalah konsekuensi jangka panjang dari kehadiran hutan tanaman industri yang mengakibatkan efek samping negatif yang tidak diinginkan seperti migrasi paksa hewan, termasuk ular kobra dan kera. Dampak sosio-ekonomi dan ekologi dari investasi lahan skala besar dan monokultur seperti tebu, kelapa sawit atau eucalyptus untuk memenuhi permintaan pasar global, seringkali menjadi bencana bagi masyarakat lokal di sekitar industri tersebut. Mata air dan sumur mengering, sumber pangan menjadi langka dan mahal. Walaupun temuan ini masih akan di analisa lebih dalam lagi.

Pdt. Cerimita Saragih telah membangun hubungan antara gereja dan pemangku kepentingan lainnya seperti komite desa, jemaat dan pemerintah daerah. Saat ini, surat dari pemerintah telah dilayangkan kepada pengusaha hutan industri dan diharapkan akan mendapatkan respon yang baik.

Sebagai tindak lanjut dari kunjungan dari Departemen Pelayanan pada Selasa (14/6) siang, pada tahapan berikutnya, kami berharap dapat mendukung upaya ini dengan advokasi dan pengembangan kapasitas, terutama pengorganisasian dan pemantauan proyek. Kami akan berharap juga membantu dalam perencanaan, renovasi dan pembangunan infrastruktur masyarakat.

 

Pewarta: Pdt. Dr. Jenny Purba

 

Industrial Forest Plantations, Monkeys and Crop Failure

Rural communities rooted in agriculture like the communities in the GKPS Tambun Raya parishes. The communities try to grow economically, with the opened up of the National Tourism Strategic Areas (Kawasan Strategis Pariwisata Nasional) to increased communication and trades, many challenges remain for the rural people who are mostly work as farmers to fulfil their basic rights: water, livelihoods, public health, education.

Apparently, the land concessions are creating new threats for the rural communities whose livelihoods are rooted in local agriculture as onions, mangoes, gingers, and other crops. One of the biggest threats is the growing of the monkey crop raiding. The crop damage by the monkeys has caused significant economic loss. According to Pastor Cerimita Saragih, this case began in 1995, but this condition has worsened since 2017. As a female farmer admitted in Sipolha II, she has experienced onion harvest failure due to the destructive presence of the monkeys.

One of the finding from the dialogue between the church and the village commitees and local government, the increasing population of the monkeys is the long term consequence of the Industrial Forest Plantation affected local people and the unintended negative side effects like the forced migration of the animals, including cobra snakes and monkeys. The socio-economic and ecological impact of large-scale land investments and huge monocultures like palm-oil, sugar cane or eucalyptus for the global market, is often disastrous. Natural springs and wells are drying up, food is becoming scarce and expensive.

The local/parish pastor has built relationship between church and other stakeholders like village commitees, congregations and local governments.

As the follow up of our visitation from Diakonia Department today. in the next phase, we hope to support these efforts with advocacy and capacity development, particularly for organizing and monitoring projects. We will hope also assist in the planning, renovation and construction of community infrastructure.

 

As reported by Rev. Dr. Jenny Purba

sumber berita : PEMATANGSIANTAR.GKPS.OR.ID.

related links
Pelayanan Anak Berkebutuhan Khusus Rehabilitasi Bersumber Daya Masyarakat (RBM) GKPS
“Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu. Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus” (Galatia 6:2)

“Bertolong-tolonganlah menanggung bebanmu. Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus” (Galatia 6:2) Japaten Purba, seorang anak dengan Tuna Read more

Perayaan Natal RBM GKPS bersama para penyandang disabilitas/difabel Rehabilitasi Bersumber daya Masyarakat (RBM) adalah sebuah unit Read more

Perayaan Natal Pemuda GKPS Pansur dengan RBM

Ketua Panitia Natal Pemuda GKPS Pansur V, Daniel Hotdo Boy Munthe ANT3, Sekretaris, Cici Purba, Bendahara, Read more

PUSAT REHABILITASI DAN PELATIHAN PETUGAS LAPANGAN

Irencana hon RBM do adong Pusat Rehabilitasi aima na gabe ianan pelatihan, perkantoran, terapi pendidikan pnl. Domma dong lahan na Read more

Facebook Comments